Tahun 1957 saat meresmikan Kota Palangkaraya sebagai ibukota provinsi Kalimantan Tengah, Presiden Soekarno mengungkapkan gagasan Palangka Raya menjadi ibukota
Potensi Palangkaraya memang berlimpah. Kaya sumber alam, daratannya luas, jauh dari gunung berapi, tidak rentan gempa, dan secara geografis berada di tengah-tengah
Tetapi gagasan itu tak pernah kesampaian.
Puluhan tahun kemudian, melihat kondisi Ibukota Jakarta yang macet, berpolusi, dan tak sanggup lagi menahan beban mobilitas warganya. Gagasan Soekarno itu menjadi sangat relevan.
Bayangkan, dengan beban sebagai pusat bisnis dan pusat pemerintahan, setiap tahun ‘biaya’ kemacetan
Sekedar catatan, jumlah kendaraan bermotor di
sementara pertumbuhan jalan hanya kurang dari 1 persen per tahun dengan luas jalan 6,2 persen dari luas keseluruhan
Dengan data-data tersebut, banyak orang pesimis
Akhirnya, solusi untuk mendistribusikan beban
Mungkin perlu dana besar untuk mewujudkannya, tapi kondisinya memang menuntut demikian. Perlu langkah luar biasa, drastis, dan radikal. Jika tidak,
Mencontoh
Rasanya
Mereka lalu buru-buru memindahkan pusat pemerintahan ke Putrajaya, sebuah
Mereka menerapkan Putrajaya sebagai zona khusus, tempat aparat birokrasi bekerja. Kotanya didesain demikian rupa. Bersih, nyaman, futurusitik, dan terpenting, tak meninggalkan identitas lokal. Seluruh moda tranportasi yang tersedia juga sangat memadai ditunjang beragam fasilitas yang nyaman. Pokoknya, aparat birokrasi di
Pada masa Soeharto sempat muncul rencana memindahkan pusat pemerintahan ke Jonggol, Jawa Barat. Rencana ini cukup disambut baik, tapi entah kenapa rencana itu tak pernah terealisasi. Alias nol besar.
Jangan pernah malu meniru sesuatu yang baik, meski itu dilakukan oleh musuh kita. Itu pesan orang bijak. Maaf, jika Malaysia direpresentasikan sebagai musuh, yang acapkali kita sebut ‘tukang nyolong’ batik, reog, dan budaya kita, seharusnya kita malu sendiri. Kenapa mereka lebih visioner? Kenapa kita masih tak beranjak dari persoalan yang itu-itu melulu?
Tapi jangan-jangan bukannya introspeksi, kita malah sibuk curiga kalau si Mahathir itu mencuri ide Soekarno dan lagi-lagi menuduh mereka sebagai pencoleng. Jika kita berpikir begitu, silakan masuk kamar dan lanjutkan tidur. Jangan bangun–bangun lagi.
Kondisi Palangka Raya
Sejumlah kalangan baik dari pemerhati lingkungan dan anggota DPR mendukung wacana pemindahan ibukota ke Palangka Raya. Pemindahan ini mereka nilai sebagai jawaban atas beban
Mari kita simak kondisi geografis Palangka Raya.
Secara geografis letaknya juga relatif berada di tengah Pulau Kalimantan. Menurut kabar, Soekarno juga memilih lebih Palangka Raya yang berada di tengah ketimbang Samarinda di Kalimantan Timur yang dekat dengan negara tetangga karena alasan pertahanan.
Topografi Palangka Raya terdiri dari tanah datar dan berbukit dengan kemiringan kurang dari 40%. Menurut Situs Resmi Pemerintah Kota Palangka Raya, kota ini mayoritas berupa hutan dan rawa dengan luas mencapai 2.409,89 Km2. Tanah Pertanian mencakup 12,65 Km2, perkampungan 45,54 Km2, perkebunan 22,30 Km2, sungai dan danau 118,72 Km2 dan lain-lain 69,41 Km2.
Kondisi geologi Palangka Raya merupakan endapan sungai dan rawa yang tersusun dari bahan-bahan liat kaolinit dan debu bersisipan pasir, gambut, dan kerakal. Selain
Di sejumlah bagian, Kota Palangka Raya juga termasuk ke dalam formasi Dahor (TQd) yang tersusun atas sebagian besar pasir kuarsa dengan dasar lempung, pada beberapa tempat terdapat sisipan konglomerat yang komponennya berupa batuan malihan, granit dan lempung.
Didukung posisi yang jauh dari gunung berapi dan pantai, menjadikan Palangka Raya termasuk ‘zona aman’ gempa. Bandingkan dengan
Bahkan Prof Dr Suparkah dari Bagian Riset Bidang Geologi Struktur LIPI mengatakan ada patahan yang memanjang dari Ciputat, Banten hingga Kota, Jakarta Pusat, yang sewaktu-waktu bisa bergeser dan menyebabkan gempa hebat di Jakarta. Menyusul pernyataannya, ia juga menegaskan, "Seluruh
Jika rencana ini terealisasi, ada beberapa wilayah yang bisa disiapkan untuk membangun infrastruktur pemerintahan. Hutan dan lahan rawa yang luasnya lebih dari dua juta kilometer persegi bisa dimanfaatkan. Tentu saja semuanya harus melalui uji analisis dampak lingkungan (amdal) yang akurat dan memadai.
Tak perlu banyak-banyak membuka kawasan baru, hitung dengan cermat kebutuhannya, uji amdal dan aspek sosialnya. Barulah dibangun. Dalam hal ini pemerintah mesti cermat dan hati-hati. Tak boleh mengorbankan kawasan hutan tanpa merehabilitasinya. Ibukota yang baru nanti haruslah ramah lingkungan dan ramah energi. Tak perlu kuatir tak mampu membuatnya, kita punya segudang insinyur cerdas.
Pelabuhan Sampit disulap menjadi pelabuhan internasional, Bandara Tjilik Riwut dibuat sekelas Changi, Sungai Kahayan dimanfaatkan sebagai wisata sungai, sebagian kecil hutan dan rawa dijadikan taman kota atau tujuan wisata ekologi.
Selain itu, modal awal Palangka Raya sebagai ibukota sudah ada.
Soal teknis pembangunan sebetulnya bukan hal yang sulit. Yang terpenting justru kemauan kuat pemerintah (political will) sebagai modal utama. Dengan kemauan yang kuat, segala rencana niscaya tercapai.
Pemerintah harus merancang rencana ini semantap dan sematang mungkin. Harus ada payung hukum yang kuat, kemudian sosialisasi, persiapan sumber daya lokal, koordinasi yang jelas dengan pemerintah daerah,sebelum menuju tahap pembangunan massal.
Selain itu, perlu juga diperhatikan aspek sosial dan budaya. Selayaknya orang yang bedol desa, mereka yang ikut bedol desa harus siap secara mental psikis. Persiapan ini bisa berupa pengenalan adat dan budaya setempat agar tercipta masyarakat yang harmonis dan rukun.
Tak ada yang tak mungkin, apalagi jika ini dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Tak terbayangkan betapa hebat dampaknya. Pastinya, Soekarno tersenyum bangga di alam
:::: Majalah Bulanan Kabari @ http://www.kabarinews.com/article/Berita_Indonesia/Utama/Palangka_Raya_Representatif_Jadi_Ibukota_Baru/35261&authorizedAccess
0 comments:
Posting Komentar