Jumat, 30 Juli 2010

Palangka Raya Representatif Jadi Ibukota Baru

Share

Tahun 1957 saat meresmikan Kota Palangkaraya sebagai ibukota provinsi Kalimantan Tengah, Presiden Soekarno mengungkapkan gagasan Palangka Raya menjadi ibukotaIndonesia.

Potensi Palangkaraya memang berlimpah. Kaya sumber alam, daratannya luas, jauh dari gunung berapi, tidak rentan gempa, dan secara geografis berada di tengah-tengah Indonesia yang membentang dari timur ke barat. Itulah sedikit banyak alasan mengapa Soekarno menunjuk Palangka Raya sebagai kandidat kuat diantara wilayah yang lain.

Tetapi gagasan itu tak pernah kesampaian. Indonesia keburu disibukan dengan persiapan Asian Games dan ajang olahraga tandingan Olimpiade, Games of the New Emerging Forces (Ganefo).

Puluhan tahun kemudian, melihat kondisi Ibukota Jakarta yang macet, berpolusi, dan tak sanggup lagi menahan beban mobilitas warganya. Gagasan Soekarno itu menjadi sangat relevan.

Bayangkan, dengan beban sebagai pusat bisnis dan pusat pemerintahan, setiap tahun ‘biaya’ kemacetanJakarta mencapai Rp17,2 triliun. Belum ditambah beban sosial lain yang diakibatkan oleh minimnya ruang publik, ruang gerak yang terbatas, dan lingkungan yang tak ramah. Pendek kata, Jakarta benar-benar sudah sumpek.

Sekedar catatan, jumlah kendaraan bermotor di Jakarta sudah mencapai 6,5 juta unit dengan angka pertumbuhan rata-rata 10 persen per tahun. Data Kepolisian Daerah Metro Jaya mengungkapkan penambahan jumlah kendaraan mencapai 2.000 unit setiap harinya,

sementara pertumbuhan jalan hanya kurang dari 1 persen per tahun dengan luas jalan 6,2 persen dari luas keseluruhan kota Jakarta.

Dengan data-data tersebut, banyak orang pesimis Jakarta terbebas dari segala beban yang menghimpitnya. Sekalipun nantinya tersedia transportasi massal cepat (Mass Rapid Transit), monorel, atau subway. Karena di saat bersamaan, hal itu juga akan memancing laju urbanisasi.

Akhirnya, solusi untuk mendistribusikan beban Jakarta menjadi sebuah keharusan. Dan wacana yang sedang kencang bergulir adalah memindahkan pusat pemerintahan (baca:ibukota) ke luar Jawa.

Mungkin perlu dana besar untuk mewujudkannya, tapi kondisinya memang menuntut demikian. Perlu langkah luar biasa, drastis, dan radikal. Jika tidak, Jakarta akan semakin merana yang dapat berakibat penurunan kualitas hidup penghuninya.

Mencontoh Malaysia

Rasanya Indonesia tak perlu malu menengok ke negara tetangga. Malaysia misalnya, meski kondisi Kuala Lumpur saat ini masih lebih ‘manusiawi’ dibanding Jakarta, mereka menyadari suatu saat Kuala Lumpur akan padat dan macet. Entah sepuluh atau dua puluh tahun ke depan.

Mereka lalu buru-buru memindahkan pusat pemerintahan ke Putrajaya, sebuah kota baru yang dibangun 25 km arah selatan Kuala Lumpur pada tahun 1995. Hasilnya, beban kepadatan Kuala Lumpur dapat terbagi dan mobilitas warganya terjamin.

Mereka menerapkan Putrajaya sebagai zona khusus, tempat aparat birokrasi bekerja. Kotanya didesain demikian rupa. Bersih, nyaman, futurusitik, dan terpenting, tak meninggalkan identitas lokal. Seluruh moda tranportasi yang tersedia juga sangat memadai ditunjang beragam fasilitas yang nyaman. Pokoknya, aparat birokrasi di sana tugasnya cuma bekerja dengan baik. Tak perlu mikirin macet atau polusi.

Pada masa Soeharto sempat muncul rencana memindahkan pusat pemerintahan ke Jonggol, Jawa Barat. Rencana ini cukup disambut baik, tapi entah kenapa rencana itu tak pernah terealisasi. Alias nol besar.

Jangan pernah malu meniru sesuatu yang baik, meski itu dilakukan oleh musuh kita. Itu pesan orang bijak. Maaf, jika Malaysia direpresentasikan sebagai musuh, yang acapkali kita sebut ‘tukang nyolong’ batik, reog, dan budaya kita, seharusnya kita malu sendiri. Kenapa mereka lebih visioner? Kenapa kita masih tak beranjak dari persoalan yang itu-itu melulu?

Tapi jangan-jangan bukannya introspeksi, kita malah sibuk curiga kalau si Mahathir itu mencuri ide Soekarno dan lagi-lagi menuduh mereka sebagai pencoleng. Jika kita berpikir begitu, silakan masuk kamar dan lanjutkan tidur. Jangan bangun–bangun lagi.

Kondisi Palangka Raya

Sejumlah kalangan baik dari pemerhati lingkungan dan anggota DPR mendukung wacana pemindahan ibukota ke Palangka Raya. Pemindahan ini mereka nilai sebagai jawaban atas beban kota Jakarta yang semakin berat.

Mari kita simak kondisi geografis Palangka Raya. Kota ini memiliki luas 2. 678,51 km² dengan kepadatan penduduk rata-rata 62,89 jiwa per kilometer persegi. Kota ini terletak pada 113°30`- 114°07` Bujur Timur dan 1°35`- 2°24` Lintang Selatan.

Secara geografis letaknya juga relatif berada di tengah Pulau Kalimantan. Menurut kabar, Soekarno juga memilih lebih Palangka Raya yang berada di tengah ketimbang Samarinda di Kalimantan Timur yang dekat dengan negara tetangga karena alasan pertahanan.

Topografi Palangka Raya terdiri dari tanah datar dan berbukit dengan kemiringan kurang dari 40%. Menurut Situs Resmi Pemerintah Kota Palangka Raya, kota ini mayoritas berupa hutan dan rawa dengan luas mencapai 2.409,89 Km2. Tanah Pertanian mencakup 12,65 Km2, perkampungan 45,54 Km2, perkebunan 22,30 Km2, sungai dan danau 118,72 Km2 dan lain-lain 69,41 Km2.

Kondisi geologi Palangka Raya merupakan endapan sungai dan rawa yang tersusun dari bahan-bahan liat kaolinit dan debu bersisipan pasir, gambut, dan kerakal. Selain kota ini juga berformasi Batuan Api (Trv) yang tersusun dari batuan breksi gunung api berwarna kelabu kehijauan dengan komponennya terdiri dari andesit, basalt dan rijang.

Di sejumlah bagian, Kota Palangka Raya juga termasuk ke dalam formasi Dahor (TQd) yang tersusun atas sebagian besar pasir kuarsa dengan dasar lempung, pada beberapa tempat terdapat sisipan konglomerat yang komponennya berupa batuan malihan, granit dan lempung.

Didukung posisi yang jauh dari gunung berapi dan pantai, menjadikan Palangka Raya termasuk ‘zona aman’ gempa. Bandingkan dengan Jakarta yang berada di bibir pantai Pulau Jawa yang rawan tsunami.

Bahkan Prof Dr Suparkah dari Bagian Riset Bidang Geologi Struktur LIPI mengatakan ada patahan yang memanjang dari Ciputat, Banten hingga Kota, Jakarta Pusat, yang sewaktu-waktu bisa bergeser dan menyebabkan gempa hebat di Jakarta. Menyusul pernyataannya, ia juga menegaskan, "Seluruh Indonesiakecuali Kalimantan rawan bencana gempa,"

Jika rencana ini terealisasi, ada beberapa wilayah yang bisa disiapkan untuk membangun infrastruktur pemerintahan. Hutan dan lahan rawa yang luasnya lebih dari dua juta kilometer persegi bisa dimanfaatkan. Tentu saja semuanya harus melalui uji analisis dampak lingkungan (amdal) yang akurat dan memadai.

Tak perlu banyak-banyak membuka kawasan baru, hitung dengan cermat kebutuhannya, uji amdal dan aspek sosialnya. Barulah dibangun. Dalam hal ini pemerintah mesti cermat dan hati-hati. Tak boleh mengorbankan kawasan hutan tanpa merehabilitasinya. Ibukota yang baru nanti haruslah ramah lingkungan dan ramah energi. Tak perlu kuatir tak mampu membuatnya, kita punya segudang insinyur cerdas.

Pelabuhan Sampit disulap menjadi pelabuhan internasional, Bandara Tjilik Riwut dibuat sekelas Changi, Sungai Kahayan dimanfaatkan sebagai wisata sungai, sebagian kecil hutan dan rawa dijadikan taman kota atau tujuan wisata ekologi.

Selain itu, modal awal Palangka Raya sebagai ibukota sudah ada. Kota yang disebut juga Kota Cantik ini memiliki kepadatan penduduk yang rendah sehingga tata ruangnya teratur, tidak semrawut seperti Jakarta. Nantinya, ibukota baru tinggal membuat penyesuaian dengan tata ruang kota yang sudah ada. Kalaupun membuat yang baru, relatif tidak sulit karena penduduknya masih sangat sedikit.

Soal teknis pembangunan sebetulnya bukan hal yang sulit. Yang terpenting justru kemauan kuat pemerintah (political will) sebagai modal utama. Dengan kemauan yang kuat, segala rencana niscaya tercapai.

Pemerintah harus merancang rencana ini semantap dan sematang mungkin. Harus ada payung hukum yang kuat, kemudian sosialisasi, persiapan sumber daya lokal, koordinasi yang jelas dengan pemerintah daerah,sebelum menuju tahap pembangunan massal.

Selain itu, perlu juga diperhatikan aspek sosial dan budaya. Selayaknya orang yang bedol desa, mereka yang ikut bedol desa harus siap secara mental psikis. Persiapan ini bisa berupa pengenalan adat dan budaya setempat agar tercipta masyarakat yang harmonis dan rukun.

Tak ada yang tak mungkin, apalagi jika ini dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Tak terbayangkan betapa hebat dampaknya. Pastinya, Soekarno tersenyum bangga di alam sana.

:::: Majalah Bulanan Kabari @ http://www.kabarinews.com/article/Berita_Indonesia/Utama/Palangka_Raya_Representatif_Jadi_Ibukota_Baru/35261&authorizedAccess

0 comments:

Posting Komentar

Telenesia9 MMX