Minggu, 31 Oktober 2010

Letusan Gunung Krakatau 1883

Spoiler for Lebih Hebat dari Bom Atom:
Tanggal 27 Agustus nanti akan genap 127 tahun letusan dahsyat Krakatau yang sempat menggoncangkan seluruh dunia. Pada tanggal 27 Agustus 1883, bertepatan dengan hari Minggu, dentuman pada pukul 10.02 terdengar di seluruh wilayah Nusantara, bahkan sampai ke Singapura, Australia, Filipina, dan Jepang. Bencana yang merupakan salah satu letusan terhebat di dunia itu sempat merenggut sekitar 36.500 jiwa manusia.

Kegiatan dimulai dengan letusan pada tanggal 20 Mei 1883, waktu kawah Perbuatan memuntahkan abu gunung api dan uap air sampai ketinggian 11 km ke udara. Letusan ini walaupun terdengar sampai lebih dari 350 km (sampai Palembang), tidak sampai menimbulkan korban jiwa.

Pada letusan tanggal 27 Agustus itu bebatuan disemburkan setinggi 55.000 m dan gelombang pasang (Tsunami) yang ditimbulkan menyapu bersih 163 desa. Abunya mencapai jarak 5.330 km sepuluh hari kemudian. Kekuatan ledakan Krakatau ini diperkirakan 26 kali lebih besar dari ledakan bom hidrogen terkuat dalam percobaan.


Spoiler for Dikira Meriam Apel:
Seorang pengamat di rumahnya di Bogor, pada tanggal 26 Agustus pukul satu siang mendengar suara gemuruh yang tadinya dikira suara guntur di tempat jauh. Lewat pukul setengah tiga siang mulai terdengar letupan pendek, sehingga ia mulai yakin bahwa kegaduhan itu berasal dari kegiatan Krakatau, lebih-lebih sebab suara berasal dari arah barat laut-barat. Di Batavia gemuruh itu juga dapat didengar, demikian pula di Anyer. Di serang dan Bandung suara-suara itu mulai terdengar pukul tiga.

Seorang bintara Belanda yang ditempatkan di Batavia mengisahkan pengalaman pribadinya. Seperti banyak orang lainnya ia mengira bahwa dunia akan kiamat saat itu.

"Tanggal 26 Agustus itu bertepatan dengan hari Minggu. Sebagai sersan pada batalyon ke-IX di Weltevreden (Jakarta Pusat) hari itu saya diperintahkan bertugas di penjagaan utama di Lapangan Singa. Cuaca terasa sangat menekan. Langit pekat berawan mendung. Waktu hujan mulai menghambur, saya terheran-heran bahwa di samping air juga jatuh butiran-butiran es."

"Sekitar pukul dua siang terdengar suara gemuruh dari arah barat. Tampaknya seperti ada badai hujan, tetapi diselingi dengan letupan-letupan, sehingga orangpun tahu bahwa itu bukan badai halilintar biasa."

"Di meja redaksi koran Java Bode orang segera ingat pada gunung Krakatau yang sudah sejak beberapa bulan menunjukkan kegiatan setelah beristirahat selama dua abad. Mereka mengirim kawat kepada koresponden di Anyer, sebuah pelabuhan kecil di tepi Selat Sunda, tempat orang bisa menatap sosok Krakatau dengan jelas pada cuaca cerah. Jawabnya tiba dengan cepat: 'Di sini begitu gelap, sampai tak bisa melihat tangan sendiri.' Inilah berita terakhir yang dikirimkan dari Anyer..."

"Pukul lima sore gemuruh itu makin menghebat, tapi tidak terlihat kilat. Letusan susul-menyusul lebih kerap, seperti tembakan meriam berat. Dari Lapangan Raja (Merdeka, Red.) dan Lapangan Singa (Banteng) terlihat kilatan-kilatan seperti halilintar di ufuk barat, bukan dari atas ke bawah, tetapi dari bawah ke atas. Waktu hari berangsur gelap, di kaki langit sebelah barat masih terlihat pijaran cahaya."

"Sudah menjadi kebiasaan bahwa tiap hari pukul delapan tepat di benteng (Frederik Hendrik, sekarang Mesjid Istiqlal) ditembakkan meriam sebagai isyarat upacara, disusul dengan bunyi terompet yang mewajibkan semua prajurit masuk tangsi. Para penabuh genderang dan peniup terompet batalyon itu sudah siap pada pukul delapan kurang seperempat. Mereka masih merokok santai sebelum mereka berbaris untuk memberikan isyarat itu. Tiba-tiba terdengar tembakan meriam menggelegar, jauh lebih dini daripada biasanya. Mereka segera berkumpul membentuk barisan dan setelah terompet dibunyikan, mereka berbaris sambil membunyikan genderang dan meniup terompet. Baru saja mereka mencapai asrama ketika meriam yang sebenarnya menggelegar dari dalam benteng. Gunung Krakatau ternyata mengecoh mereka!"


Spoiler for Batavia Jadi Dingin:
"Sementara itu 'penembakan' berlangsung terus. Kadang-kadang bunyinya seperti tembakan salvo beruntun, kilatan-kilatan menyambar-nyambar ke langit. Semua orang tercekam ketakutan. Tiada seorangpun percaya bahwa ada badai mengamuk jauh di sana. Hampir tidak ada orang yang berani tidur malam itu. Banyak yang berkumpul di halaman rumah mereka sambil mengarahkan pandangan mereka ke arah barat dan memperbincangkan kemungkinan-kemungkinan yang menyebabkan gejala alam yang aneh itu. Hanya anak negeri yang tak ragu-ragu: 'Ada gunung pecah,' kata mereka."

"Menjelang tengah malam tiba perwira piket, Letnan Koehler. Ia mengatakan kepada saya bahwa seluruh kota sedang dalam keadaan panik. Penduduk asli berkumpul di masijid-masjid untuk bersembahyang. Penduduk Belanda tetap terjaga di rumah masing-masing atau pergi ke rumah bola Concordia atau Harmonie untuk saling mencari dukungan dari sesamanya."

"Menjelang pukul dua pagi rentetan letusan bak tembakan cepat artileri itu mencapai puncaknya. Rumah-rumah batu bergetar dan jendela-jendela bergemerincing. Gelas lampu penerangan jalan jatuh dan bertebaran di tanah, kaca etalase toko pecah, penerangan gas di banyak rumah padam. Sesudah itu ledakan-ledakan mereda, namun dari arah barat masih terdegar suara gemuruh."

"Kemudian saya merasakan bahwa udara makin menjadi dingin. Dalam beberapa jam saja suhu udara telah menurun sedemikian rupa, sampai saya gemetar kedinginan di pos jaga. Belum pernah di Batavia udara sedingin itu. Waktu saya melihat keluar ternyata seluruh kota diliputi oleh kabut tebal. Penerangan jalan di seberang Lapangan Singa tak dapat saya lihat lagi,meskipun saya mendengar dari rekan lain bahwa lampu-lampu masih menyala. Tak lama kemudian ternyata kabut itu bukan kabut biasa, melainkan hujan abu, yang jatuh tak lama setelah lewat tengah malam - mula-mula jarang-jarang, tetapi makin lama makin deras, sehingga segalanya terselimuti oleh kabut abu yang tebal."

"Pada pukul enam pagi, sesuai peraturan, semua lampu harus dipadamkan, tetapi matahari tidak terbit! Baru sekitar pukul tujuh nampaknya fajar seperti akan menyingsing, tetapi hari itu tak akan menjadi terang. Hawa makin menjadi dingin, sehingga saya memerintahkan anak buah saya untuk mengenakan jas hujan mereka. Sementara itu abu turun dengan tiada putus-putusnya. Abu itu ke mana-mana, bangsal jaga juga dilapisi oleh serbuk halus yang berwarna kelabu keputih-putihan. Prajurit jaga yang saya lihat dari jendela sedang mondar-mandir, nampak seperti boneka salju kelabu yang bergerak secara mekanis."

"Sekitar pukul sembilan pagi ledakan-ledakan dan guruh makin bertambah. Pada pukul sepuluh hari gelap seperti malam. Lampu-lampu gas dinyalakan kembali. Lapisan abu setebal 15 mm menutupi segala yang ada. Jalan-jalan sunyi senyap, tak ada yang berani menampakkan diri. Saya merasa seorang diri di dunia, di dunia yang tak lama lagi bakal runtuh!"

"Pada pukul 10.40 akhirnya tiba telegram dari Serang, yang isinya memuat sedikit keterangan mengenai penyebab gejala-gejala alam yang mengerikan itu. Kawat itu berbunyi: 'Kemarin petang Krakatau bekerja. Bisa didengarkan di sini. Semalam suntuk cahayanya terlihat jelas. Sejak pukul sebelas ledakan-ledakan makin hebat dan tak terputus-putus. Setelah hujan abu deras pagi ini matahari tak tampak, gelapnya seperti pukul setengah tujuh malam. Merak dimusnahkan gelombang pasang. Sekarang di sini sedang hujan kerikil. Tanpa payung kuat tak ada yang berani keluar.'"

"Lewat pukul duabelas, ketika di Batavia masih gelap gulita dan sangat dingin, tersiar berita kawat dari pelabuhan Pasar Ikan dan Tanjung Priok. Sebuah gelombang pasang telah membanjiri kota bagian bawah. Permukaan air dua meter di atas garis garis normal. Kapal uap Prinses Wilhelmina dicampakkan ke pangkalan, seperti juga kapal Tjiliwoeng yang cerobong asapnya merusak atap kantor pabean. Sejumlah kapal motor dan perahu terdampar acak-acakan di Pelabuhan Pasar Ikan, berlumuran lumpur dan abu tebal. Pengungsi mulai mengalir sepanjang jalan raya dengan membawa harta benda yang bisa dijinjing ke arah Weltevreden yang lebih tinggi letaknya. Pada pukul dua dan empat sore datang lagi gelombang pasang, tetapi kali ini kurang tinggi dibandingkan yang pertama."

"Di sebelah barat kini menjadi tenang dan kelam makin berkurang, sehingga matahari mulai nampak sebagai bercak merah kotor pada langit yang kelabu."

"Pada pukul lima petang saya diganti dan menerima perintah untuk segera menyiapkan suatu pasukan yang akan diberangkatkana ke daerah yang terkena musibah di Sumatra Selatan. Pada saat itu di Batavia tidak seorangpun tahu dengan tepat apa yang sebenarnya terjadi di sebelah barat. Semua hubungan telegram dengan daerah yang terlanda malapetaka terputus."

Telenesia9 MMX